URGENSI PENGINTEGRASIAN MATERI IMTAQ DI SEKOLAH


Oleh : M. Nasir, S.Pd.-

 Di Era globalisasi sekarang ini, terjadi perubahan – perubahan yang amat cepat terutama dalam bidang komunikasi dan informasi, ilmu pengetahuan dan teknologi serta berkembangnya berbagai komuditas industri modern, dunia telah menjadi kampung raksasa dimana batas kedaulatan negara menjadi sumir, warna dan bentuk kebudayaan setiap bangsa menjadi lebih transparan dengan segala dampaknya, membawa segala macam perubahan dan keunikan.

Perubahan dan keunikan yang merupakan akibat langsung dari pengaruh globalisasi membawa dampak pada kehidupan siswa dalam bersikap dan berperilaku. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa belakangan ini terjadi dekadensi moral yang amat memprihatinkan, seperti : Hamil diluar nikah, pergaulan bebas, narkotika dan obat – obat terlarang, tawuran dan semacamnya. Sangat beralasan apabila para pengamat sosiologi dan psikologi mengatakan, Indonesia kini berada dalam ancaman yang amat dahsyat (Dunia Pendidikan, Edisi April 2018:11). Mengapa ? Karena generasi muda yang merupakan pelanjut estafet kepemimpinan bangsa kini mulai teracuni oleh obat – obatan berbahaya, tayangan (televisi, internet dan CD)  dimana secara langsung berpengaruh terhadap kreatifitasnya.

Dipihak lain kitapun sadar bahwa, pendidikan di Indonesia selama ini terlalu menekankan arti penting nilai akademik, kecerdasan otak atau IQ saja. Mulai dari tingkat sekolah dasar sampai ke bangku kuliah, jarang sekali ditemukan pendidikan tentang kecerdasan emosi yang mengajarkan tentang: integritas; kejujuran; komitmen; visi; kreatifitas; ketahanan mental; kebijaksanaan; keadilan, prinsip kepercayaan; penguasaan diri atau sinergi; padahal justru inilah yang terpenting. (Ari Ginanjar Agustian, 2001).

Kekhawatiran yang mengancam kehidupan generasi muda (baca: siswa) yang dilontarkan oleh gelegarnya ramalan para futurolog mengenai suasana mendatang memang beralasan, karena apa yang dikemukakan mengenai suasana masa mendatang merupakan proyeksi mengenai keadaan sekarang, yang diisyaratkan oleh kecenderungan perubahan sosial budaya yang  nyaris tidak dapat dibendung. Apabila ilmu tanpa iman, niscaya manusia akan menjadi budak kebudayaan dan hanya sekedar obyek atau piranti (spare part) dari kemajuan tekhnologi tersebut (Toto Tasmara, 1995:113).

Untuk menangkal arus globalisasi dan dampak yang di timbulkannya, “Pengintegrasian materi iman dan taqwa (imtaq) ke dalam semua mata pelajaran yang bukan pendidikan agama (PAI) mutlak dilakukan, karena hanya dengan pengamalan ajaran agamalah generasi muda kita dapat memfilter pengaruh negatif dari globalisasi, sehingga pada akhirnya dapat menjadi tameng atau perisai dalam menghadapi permasalahan hidup yang semakin kompleks dan kompetitif. Untuk itu sudah seharusnya guru menjabarkan secara optimal dalam proses belajar mengajar.

Pembelajaran yang mengintegrasikan materi keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT., selain diharapkan dapat membentuk sumber daya manusia yang handal, beriman dan bertaqwa, kiranya juga dapat memperbaiki kerapuhan filosofis pendidikan yang  menganut wawasan dan pola pikir dualisme dikotomis yang cenderung memisahkan antara pendidikan agama dan urusan pengembangan ilmu pengetahuan. Padahal dalam Al-Quran sendiri tidak pernah memilah – milah antara ilmu agama dan ilmu pengetahuan umum, melainkan semua merupakan  ilmu Allah SWT., yang harus dipelajari oleh umat manusia. Oleh karena itu dalam melaksanakan tugas profesionalismenya guru diharapkan keluar dari perspektif sempit yang menganggap bahwa ilmu agama dan pembinaan iman dan takwa hanya tugas guru agama atau ustazd saja.

Guru yang merupakan penanggung jawab di sekolah harus meyakini bahwa iman dan taqwa akan terasa kelezatannya apabila secara aktual dimanifestasikan dalam bentuk amal saleh, yaitu suatu bukti wujud aktifitas kretifitas profesionalisme, yang ditempa oleh semangat tauhid untuk mewujudkan identitas dan cita – cita luhur sebagai umat terbaik (kuntum khaira ummah). Dan pada saat yang bersamaan kitapun sadar bahwa Islam bukan merupakan konsep idea, tetapi juga merupakan amal praktikal yang tetap aktual diterapkan pada semua mata pelajaran.

Merupakan tugas mulia kiranya guru dapat bersama – sama membina siswa untuk bersikap dan berperilaku positif yang dapat mempertebal iman dan taqwa, akhlak dan perilaku terpuji dalam pembentukan pondasi berpikir yang betul (correct thinking), bukankah! Undang – Undang Nomor 20 tahun 2003 bertujuan untuk, “Berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi menusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.

Sehubungan dengan tujuan Pendidikan Nasional tersebut serta tugas guru dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pada anak didik, menarik kiranya disimak ungkapan seorang ahli fisika ulung, penemu teori relatifitas, Albert Eistein (E. S. Ansyari, 2001: 167) yang menyatakan, “Science without religion is lame, religion without science is blind”  (ilmu tanpa agama lumpuh, agama tanpa ilmu adalah buta).

Penerapan prinsip – prinsip dasar Islam dalam pengintegrasian ke materi – materi pelajaran di sekolah diharapkan dapat mengarah pada pembentukan sikap dan perilaku yang mencerminkan keimanan dan ketakwaan yang setidak – tidaknya dapat dilihat pada tiga demensi pokok Pendidikan Islam, yaitu : hubungan manusia dengan Allah SWT, hubungan manusia dengan sesama manusia serta hubungan manusia dengan lingkungan alam.

Nilai yang dapat dikembangkan dalam hubungan manusia dengan Allah SWT., antara lain bahwa, “Manusia diciptakan oleh Allah SWT., dan diberikan bentuk atau kejadian yang sebaik – baiknya” (Q.S.95:4), dan menjadikan makhluk yang paling sempurna di muka bumi” (Q.S.17:70). Kejadian yang sebaik – baiknya, bisa dinalar dengan memperhatikan struktur jasmani dan rohani, akal (cipta), rasa dan karsa manusia yang snagat membedakan dengan makhluk lain. Oleh karena itu manusia harus beriman dan bertaqwa dan sebagai konsekwensinya manusia dibebani dengan tugas dan tanggung – jawab ‘Pengabdian total’ kepada Allah SWT., dalam bentuk melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya.(Q.S.3:102,51:56).

Hubungan manusia dengan Allah SWT. dalam bentuk pengabdian total kepada – Nya, harus diikuti dengan hubungan manusia dengan sesama manusia dan lingkungan alam. Dalam hubungan dengan sesasama manusia nilai yang urgen untuk ditanamkan adalah harmonisasi hubungan antara sesama manusia yang pada intinya adalah tolong menolong antara sesama manusia (Q.S.5:2,107:1-7). Sedangkan dalam hubungan dengan lingkungan alam Islam memberi petunjuk kepada umat manusia untuk bersikap dan berperilaku, agar lingkungan disekitarnya dipelihara, diolah dan ditumbuh-kembangkan, serta dilestarikan untuk kepentingan hidup manusia iru sendiri (Q.S.31:30:11:61,7:56,28:77).

Akhirnya sebagai penutup dari tulisan ini, saya mengajak  rekan-rekan seprofesi (guru) untuk menyimak dan melaksanakan suatu nasehat berikut ini: “Tanggung – Jawab Pembinaan dan peningkatan keimanan dan ketakwaan bukan hanya dipundak guru agama saja, melainkan tanggung-jawab kita semua”. Atas dasar itu guru-guru mata pelajaran yang bukan  Pendidikan Agama juga ikut bertanggung-jawab serta berpartisipasi dalam meningkatkan keimanan dan ketaqwaan melaui implementasi kedalam mata pelajaran yang diajarkan masing-masing.(nsir)

 

Penulis adalah:    Kepala Sekolah Penggerak Angkatan Pertama SMP Negeri 9 Kota Bima.