PERUBAHAN WAJAH DUNIA PENDIDIKAN DI ERA SHIFTING DARI PENDEKATAN PEMBELAJARAN “WHAT SUBJECTS” KE “HOW TO LEARN”

Oleh. Muhammad Ali

“YOU CAN LEARN ANYTHING, FOR FREE, FOR EVEYONE, AND FOREVER”

“Khan Academy”

Saya ingin memulai tulisan ini dengan menceritakan apa yang pernah disampaikan oleh salah satu konten creator dunia “NASH Dayly”. Dalam satu kontennya terkait dengan perubahan yang terjadi di dunia ini karena pengaruh perkembangan teknologi dan juga hadirnya pandemic covid 19, yang berdampak pada seluruh aspek kehidupan kita, tak terkecuali dunia Pendidikan. Proses pembelajaran yang tadinya hanya dilaksanakan dengan pendekatan luring (tatap muka) saja, saat teknologi dan covid 19 yang membatas ruang interaksi antar kita saat itu untuk mengatasi penyebarannya, mengharuskan kita menyelenggarakan kegiatan belajar secara daring (menggunakan fasilitas jaringan internet dalam satu jaringan).

Saat pandemic covid 19 mulai tertangani, karena vaksinnya sudah ditemukan dan hampir semua warga negara sudah mendapatkan vaksin ke tiga, maka prilaku dan pola hidup kita tidak bisa sepenuhnya Kembali ke kondisi yang sama saat sebelum covid hadir. Ada kehidupan normal baru yang dijalankan dengan tetap Kembali melakukan hal-hal yang dulu dilakukan sebelum covid 19 hadir, tetapi juga dengan tetap mempertahan beberapa kebiasaan baru yang dilakukan selama masa covid 19, kondisi ini kemudian kita sebut sebagai “New Normal”.

Kembali ke pada cerita yang disampaikan oleh Nash dalam kontennya. Bahwa “hadirnya teknologi telah membawa dampak yang sangat besar dalam seluruh aspek kehidupan kita. Covid 19 mungkin 2 atau 3 tahun yang akan datang sudah selesai dan bisa dikenadalikan seiring dengan ditemukannya obat vaksin, akan tetapi dampak yang ditimbulkan akan tinggal sampai 100 tahun kedepan”. Kebiasaan-kebiasan yang dimaksud oleh Youswohady, (2021) disebut sebagai 4 Megashift Consumer Behaviour in Covid -19, sebagai berikut,

1. Stay at home lifestyle (Gaya hidup diam dirumah). Adanya kebijakan pembatasan interaksi social yang disebabkan oleh pandemic covid 19, memaksa masyarakat untuk berusaha memenuhi seluruh kebutuhannya tanpa harus melakukan kontak secara langsung dengan memanfaatkan teknologi yang sebelumnya sudah ada dengan berbagai platform yang memberikan jasa layanan untuk bertransaksi secara online, mulai dari belajar, belanja dan bekerja. Kebiasaan ini kemudian menjadi gaya hidup baru yang terus dipertahankan meski pancemi covid 19 sudah berkurang dan pemerintah tidak lagi menerapkan kebijakan pembatasan interaksi pada masyarakat. Hal ini terlihat dari pertumbuhan jumlah platform e-commerce dan juga nilai transaksi yang terjadi dalam kurun waktu 2 sampai 3 tahun terakhir.

Dalam dunia Pendidikan kita juga sama, kalau dulu sebelum covid 19, apabila kita berhalangan hadir karena satu dan lain hal, pelaksanaan kegiatan belajar tidak bisa terlaksana, tetapi setelah hari ini pelaksanaan pembelajaran tetap bisa dilaksanakan tanpe harus kesekolah dengan menggunakan system daring.

2. Back to the bottom of the pyramid. Perubahan ini merujuk pada pyramida Maslow yang berkaitan dengan bagaimana manusia dalam memenuhi kebutuhannya. Selama pandemi covid 19 terjadi perubahan atau pergeseran prilaku konsumen dalam memenuhi kebutuhan dari “Puncak Piramida” yang berkaitan dengan kebutuhan aktualisasi diri ke “dasar piramida” yang berkaitan dengan kebutuhan fisiologis seperti makanan dan kesehatan.

3. Go Virtual. Untuk mengindari penyebaran covid -19, prilaku konsumen mengalami berubah dan berusaha menghindari dan meminimalisasi terjadinya kontak fisik, sehingga ketika melakukan transaksi untuk memenuhi kebutuhannya akan lebih memilih melakukannya secara virtual atau online. Konsumen menjadi lebih selektif dalam membeli produk sesuai dengan kebutuhannya.

4. Terbentuknya emphaty society. Karena banyaknya musibah yang terjadi selama masa covid -19, banyak korban baik yang terpapar dan juga meninggal, melahirkan banyak kekhawatiran, menyebabkan sikap empati sosial semakin tinggi, apalagi Indonesia sebagai salah satu negara dimana nilai-nilai tolong menolong dan gotong royong sebagai salah satu karakter dan ciri. Maka selama masa pandemicovid-19 terjad peningkatan jumlah donasi.

Sumber: Yuswohady, (2021) 4 Megashifts Consumer Behavior in Covid-19

Bergesernya Peran Lembaga Pendidikan dan Guru

Dalam satu laporan PBB yang berjudul “The Learning Generation”, disebutkan bahwa dua per tiga pekerjaan (job) yang kita kenal saat ini akan hilang. Tentu ini bagi Sebagian orang diterima sebagai sebuah berita yang tidak baik karena akan mengancam banyak posisi yang mereka fikir saat ini sudah nyaman, tetapi bagi Sebagian yang lain, hal ini diterima sebagai sebuah tantangan sekaligus juga kesempatan. Mengutif apa yang disampaikan oleh Prof. Rhenald Kasali dalam bukunya The Great Shifting (2022), sebenarnya selama manusia itu ada dan jumlahnya terus bertambah, maka pekerjaaan (work) itu akan selalu ada dan tersedia, akan tetapi bentuk pekerjaan (job) yang saja yang mengalami pergeseran. Sebagai ilustrasi misalkan Dunia akan tetap membutuhkan Lembaga Pendidikan dan guru sebagai pendidik. Apabila perkembangan anak usia sekolah terus mengalami pertambahan, maka jumlah kebutuhan Lembaga Pendidikan dan julah guru yang dibutuhkan akan semakin banyak, akan tetapi bentuk Lembaga Pendidikan dan guru yang diperlukan bukanlah Lembaga Pendidikan dan guru dengan bentuk atau cara kerja lama.

Begitu juga dengan profesi-profesi yang lain seperti dokter, Akuntan, arsitek dan juga berbagai profesi lainnya, dimasa depan bentuk pekerjaanya akan mengalami pergeseran, dari cara kerja yang lama, ke cara kerja baru yang di topang oleh kehadiran perkembangan teknologi.

Peran dan fungsi guru/dosen sebagai jembatan bagi anak-anak untuk menuju masa depan tetap dibutuhkan, namun dengan bentuk pekerjaan yang berbeda, dengan metode-metode baru dalam membentuk anak didiknya. Kehadiran mereka diperlukan untuk memandu siswa dalam mendapatkan sikap mental baru dan mengedepankan “deep understanding” (Kasali, 2022).

“Pada abad 21 konsep buta aksara tidak lagi dimaknai sebagai tidak bis abaca tulis, akan tetapi buta aksara dimaknai sebagai “tidak bisa belajar”, “enggan belajar”, dan “enggan belajar Kembali”, (Alvin Toffler, 1970 dalam Kasali, 2022)”.

Clayton Cristensen, dkk dalam bukunya Distrupting Class (2008) menceritakan kisah seorang anak yang memiliki kecerdasan luar biasa di dunia olah raga, akan tetapi dia memerlukan perhatian yang ekstra untuk belajar dan menjelaskan rumus fisika kepadanya. Dia tidak bodoh, akan tetapi sesimpel apapun guru sudah menjalaskan padanya, dia tidak faham. Akan tetapi, saat ayahnya mengajarkan ia dengan konsep praktek dibandingkan dengan teory, anak itu dengan cepat dan mudah mengerti apa maksud dari rumus tersebut. Lalu, bukankah seharunya sebagai tenaga pengajar (guru) apakah kita mampu melihat keberagaman tekni mengajar ini?

Hal lain yang kemudian terlihat sangat nyata hari ini adalah perbedaan mendasar antara profil lulusan yang dihasilkan oleh Lembaga Pendidikan zaman dahulu dengan Lembaga Pendidikan saat ini. Dimana sering kita lihat bahwa anak-anak yang dikenal cerdas, dan pandai disekilah, akan tetapi dalam kehidupan nyata mereka tidak pandai. Kita banyak melihat misalkan beberapa orang dengan kualifikasi Pendidikan dan gelar yang tinggi, tetapi tidak memiliki kecerdasan secara emosional, mereka mudah terprovokasi dan sering memberikan penjelasan yang tidak logis dan menyesatkan.

Kehadiran teknologi mampu membuat penyelenggaraan Pendidikan semakin mudah dan bisa diakses oleh semua orang, tidak ada lagi gap. Akan tetapi, karena prosesnya yang serba instan, produk luaran yang dihasilkan dari sisi kemampuannya juga kurang dalam dan bersifat instan.

Ppenulisadalah Akademisi dan Fasilitator PSP Kota Bima NTB Tahun 2023